SEJARAH EKONOMI INDONESIA
1. Pemerintahan Orde Lama
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklasmasikan kemerdekaannya. Namun demikian, tidak berarti dalam prakteknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan bisa memberi perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Karena hingga menjelang akhir 1940-an, Indonesia masih mengahadapi dua peperangan besar dengan Belanda, yakni pada aksi Polisi I dan II. Setelah akhirnya pemerintah Belanda mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia, selama decade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965, Indonesia dilanda gejolak politik di dalam negeri dan beberapa pemberontakan sdi sejumlah daerah, seperti di Sumatera dan Sulawesi. Akibatnya, selama pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk.
Selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak tahun 1958, defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan defisit anggaran pendapatan dan belanja pemerintah (APBN) terus membesar dari tahun ke tahun.
Selain itu, selama periode Orde lama, kegiatan produksi di sektor pertanian dan sektor industry manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun nofisik seperti penandaan dari bank. Akibat rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300% menjelang akhir periode Orde Lama.
Dapat disimpulkan bahwa buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun nonfisik selama pendudukan Jepang, Perang Dunia II, dan perang revolusi, serta gejolak politik di dalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah), ditambah lagi dnegan manajemen ekonomi makro yang sangat jelek selama rezim tersebut (Tambunan, 1991, 1996).
Mengkuti kerangka analisis dari Dumairy (1996), periode Orde Lama atau sejak 1945 hingga 1965 dapat dibagi manjadi 3 periode, yaitu: periode 1945-1950, periode demokrasi parlementer (1950-1959), dan periode demokrasi terpimpin (1959-1965). Periode demokrasi parlementer juga dikenal sebagai periode demokrasi liberal. Dalam periode ini terjadi perubahan cabinet 8 kali, yakni diawali oleh Kabinet Hatta (Desember 1949-September 1950), dan setelah itu berturut-turut Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951), Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952), Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953), Kabinet Ali I (Agustus 1953-Juli 1955), Kabinet Burhanuddin (Agustus 1955-Maret 1956), Kabinet Ali II (April 1956-Maret 1957), dan Kabinet Djuanda (Maret 1957-Agustus 1959).
Dilihat dari aspek politiknya selama periode Orde Lama, dapat dikatakan Indonesia pernah mengalami system politik yang sangat demokratis, yakni pada periode 1950-1959, sebelum diganti dengan periode demokrasi terpimpin. Akan tetapi sejarah Indonesia menunjukkan bahwa system politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian nasional. Akibat terlalu banyaknya partai politik yang ada dan semuanya ingin berkuasa, sering terjadi konflik antarpartai politik.
Selama periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sektor formal/modern seperti pertambangan, distribusi, transportasi, bank, dan pertanian komersil yang memiliki kontribusi lebih besar dasripada sektor informal/tradisional terhadap output nasional atau PDB didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing yang kebanyakan berorientasi ekspor.
Struktur ekonomi seperti yang digambarkan diatas, yang oleh Boeke (1954) disebut dual societies, adalah salah satu karakteristik utama dari LDCs yang merupakan warisan kolonialisasi.
Pada akhir September 1965, ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa berdarah tersebut terjadi suatu perubahan politik yang drastir di dalam negeri, yang selanjutnya juga mengubah sistem ekonomi yang dianut Indonesia pada masa Orde Lama, yakni dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis (kalau tidak, dapat dikatakan ke sistem kapitalis sepenuhnya).
2. Pemerintahan Orde Baru
Tepatnya sejak bulan Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan Orde baru. Berbeda dengan pemerintahan Orde Lama, dalam era Orde baru ini perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerintah Orde Baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak Barat dan menjauhi pengaruh ideology komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota PBB dan lembaga-lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta rehabilitasi ekonomi di dalam negesi. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencana pembangunan lima tahun (Repelita) secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh negara-negara Barat. Menjelang akhir tahun 1960-an, atas kerjasama dengan Bank Dunia, IMF, dan ADB (Bank Pembangunan Asia) dibentuk suatu kelompok konsorsium yang disebut Inter-Government Group on Indonesia (IGGI), yang terdiri atas sejumlah Negara maju, termasuk Jepang dan Belanda, dengan tujuan membiayai pembangunan ekonomi di Indonesia.
Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menaggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran.
Pada bulan April 1969 Repelita I (rencana pembangunan lima tahun pertama) dimulai dengan penekanan utama pada pembanguan sektor pertanian dan industri-industri yang terkait, seperti agroindustri.
Dampak Repelita I dan repelita-repelita berikutnya terhadap perekonomian Indonesia cukup mengagumkan, terutama dilihat pada tingkat makro. Proses pembangunan berjalan sangat cepat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun cukup tinggi, jauh lebih baik daripada selama Orde Lama, dan juga relatif lebih tinggi daripada laju rata-rata pertumbuhan ekonomi dari kelompok LDCs.
Proses pembangunan dasn perubahan ekonomi semakin cepat setelah sejak paruh pertama dekade 1980-an, pemerintah mengeluarkan berbagai paket deregulasi yang diawali di sektor moneter/perbankan dan di sektor riil, dengan tujuan utama meningkatkan ekspor nonmigas Indonesia dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta berkelanjutan.
Sebagai suatu rangkuman, sejak masa Orde Lama hingga berakhirnya masa Orde Baru dapat dikatakan bahwa Indonesia telah mengalami dua orientasi kebijakan ekonomi yang berbeda, yakni dari ekonomi tertutup yang berorientasi sosialis pada zaman rezim Soekarno ke ekonomi terbuka berorientasi kapitalis pada masa pemerintahan Soeharto. Perubahan orientasi kebijakan ekonomi ini membuat kinerja ekonomi nasional pada masa pemerintahan Orde Baru menjadi jauh lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan Orde Lama.
Pengalaman ini menunjukan bahwa ada beberapa kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik, yaitu sebagai berikut:
· Kemauan politik yang kuat.
· Stabilitas politik dan ekonomi.
· Sumber daya manusia yang lebih baik.
· Sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat.
· Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik.
Akan tetapi, hal-hal positif yang dibicarakan di atas tidak mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru tanpa cacat. Kebijakan-kebijakan ekonomi selama masa Orde Baru memang telah menghasilkan suatu proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi dengan biaya ekonomi tinggi, serta fundamental ekonomi yang rapuh.
3. Pemerintahan Transisi
Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan ‘jual’. Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Menanggapi perkembangan itu, pada bulan Juli 1997 BI melakukan 4 kali intervensi yakni memperlebar tentang intervensi.
Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional. Untuk mencegah agar keadaan tidak tambah memburuk, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkret, diantaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut.
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan transisi memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Kegoncangan terhadap rupiah terjadi pada pertengahan 1997, pada saat itu dari Rop 2500 menjadi Rp 2650 per dollar AS. Sejak masa itu keadaan rupiah menjadi tidak stabil.
- Krisis rupiah akhirnya menjadi semakin parah dan menjadi krisi ekonomi yang kemudian memuncuilkan krisis politik terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
- Pada awal pemerintahan yang dipimpin oleh habibie disebut pemerintahan reformasi. Namun, ternyata opemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, sehingga kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai masa transisi karena KKN semakin menjadi, banyak kerusuhan.
4. Pemerintahan Reformasi
Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.
Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Garis waktu :
1. 22 Januari 1998
· Rupiah tembus 17.000,- per dolar AS, IMF tidak menunjukkan rencana bantuannya.
2. 12 Februari
· Soeharto menunjuk Wiranto, menjadi Panglima Angkatan Bersenjata.
3. 10 Maret
· Soeharto terpilih kembali untuk masa jabatan lima tahun yang ketujuh kali dengan menggandeng B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden.
4. 4 Mei
· Harga BBM meroket 71%, disusul 3 hari kerusuhan di Medan dengan korban sedikitnya 6 meninggal.
5. 8 Mei
· Peristiwa Gejayan, 1 mahasiswa Yogyakarta tewas terbunuh.
6. 9 Mei
· Soeharto berangkat seminggu ke Mesir.
7. 12 Mei
· Tragedi Trisakti, 4 Mahasiswa Trisakti terbunuh.
8. 13 Mei
· Kerusuhan Mei 1998 pecah di Jakarta. Kerusuhan juga terjadi di kota Solo.
· Soeharto yang sedang menghadiri pertemuan negara-negara berkembang G-15 di Kairo, Mesir, memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Sebelumnya, dalam pertemuan tatap muka dengan masyarakat Indonesia di Kairo, Soeharto menyatakan akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden.
· Etnis Tionghoa mulai eksodus meninggalkan Indonesia.
9. 14 Mei
· Demonstrasi terus bertambah besar hampir di seluruh kota-kota di Indonesia, demonstran mengepung dan menduduki gedung-gedung DPRD di daerah.
10. 18 Mei
· Ketua MPR yang juga ketua Partai Golkar, Harmoko, meminta Soeharto untuk turun dari jabatannya sebagai presiden.
· Jenderal Wiranto mengatakan bahwa pernyataan Harmoko tidak mempunyai dasar hukum; Wiranto mengusulkan pembentukan "Dewan Reformasi".
· Gelombang pertama mahasiswa dari FKSMJ, Forum Kota, UI dan HMI MPO memasuki halaman dan menginap di Gedung DPR/MPR
Mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR.
Mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR.
11. 19 Mei
· Soeharto berbicara di TV, menyatakan dia tidak akan turun dari jabatannya, tetapi menjanjikan pemilu baru akan dilaksanakan secepatnya.
· Beberapa tokoh Muslim, termasuk Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, bertemu dengan Soeharto.
· Ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR, Jakarta.
· Dilaporkan bentrokan terjadi dalam demonstrasi di Universitas Airlangga, Surabaya.
12. 20 Mei
· Amien Rais membatalkan rencana demonstrasi besar-besaran di Monas, setelah 80.000 tentara bersiaga di kawasan Monas.
· 500.000 orang berdemonstrasi di Yogyakarta, termasuk Sultan Hamengkubuwono X. Demonstrasi besar lainnya juga terjadi di Surakarta, Medan, Bandung.
· Harmoko mengatakan Soeharto sebaiknya mengundurkan diri pada Jumat, 22 Mei, atau DPR/MPR akan terpaksa memilih presiden baru
· Sebelas menteri kabinet mengundurkan diri, termasuk Ginandjar Kartasasmita, milyuner kayu Bob Hasan, dan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin. Pernyataan pengunduran diri.
13. 21 Mei
· Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada pukul 9.00 WIB
· Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi presiden baru Indonesia.
· Jenderal Wiranto mengatakan ABRI akan tetap melindungi presiden dan mantan-mantan presiden.
· Terjadi perdebatan tentang proses transisi ini. Yusril Ihza Mahendra, salah satu yang pertama mengatakan bahwa proses pengalihan kekuasaan adalah sah dan konstitusional.
14. 22 Mei
· Habibie mengumumkan susunan "Kabinet Reformasi".
· Letjen Prabowo Subiyanto dicopot dari jabatan Panglima Kostrad.
· Di Gedung DPR/MPR, bentrokan hampir terjadi antara pendukung Habibie yang memakai simbol-simbol dan atribut keagamaan dengan mahasiswa yang masih bertahan di Gedung DPR/MPR. Mahasiswa menganggap bahwa Habibie masih tetap bagian dari Rezim Orde Baru. Tentara mengevakuasi mahasiswa dari Gedung DPR/MPR ke Universitas Atma Jaya.
K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Pada pemilu yang diselenggarakan pada 1999 (lihat: Pemilu 1999), partai PDI-P pimpinan Megawati Soekarnoputri berhasil meraih suara terbanyak (sekitar 35%). Tetapi karena jabatan presiden masih dipilih oleh MPR saat itu, Megawati tidak secara langsung menjadi presiden. Abdurrahman Wahid, pemimpin PKB, partai dengan suara terbanyak kedua saat itu, terpilih kemudian sebagai presiden Indonesia ke-4. Megawati sendiri dipilih Gus Dur sebagai wakil presiden.
Masa pemerintahan Abdurrahman Wahid diwarnai dengan gerakan-gerakan separatisme yang makin berkembang di Aceh, Maluku dan Papua. Selain itu, banyak kebijakan Abdurrahman Wahid yang ditentang oleh MPR/DPR.
Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran berkumpul di Gedung MPR dan meminta Gus Dur untuk mengundurkan diri dengan tuduhan korupsi. Di bawah tekanan yang besar, Abdurrahman Wahid lalu mengumumkan pemindahan kekuasaan kepada wakil presiden Megawati Soekarnoputri.
Melalui Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001, Megawati secara resmi diumumkan menjadi Presiden Indonesia ke-5.
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan reformasi memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri jufga sudah mulai stabil.
- Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang baik, yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank Indonesai, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
- Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.
- Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
5. Pemerintahan Gotong Royong
Ditengah persaingan global yang saling mematikan, bangsa Indonesia semakin terjebak dalam krisis. Segelintir orang menikmati sebagian besar kekayaan negara, mereka adalah perusahaan asing dan kekuatan tua (establish) yang menjadi kolaboratornya. Sementara jutaan rakyat terperangkap dalam kemiskinan, pemuda menganggur, anak-anak miskin tidak bisa sekolah, orang-orang miskin tidak dapat membiayai kesehatan, petani tidak punya tanah, rakyat miskin di kota tergusur, anak-anak jalanan ditangkap karena dianggap mengganggu pemandangan dan ketertiban.
Maka terjadilah dua lapisan penindasan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yaitu ; pertama, penidasan kapitalisme asing atas negara dan rakyat, dan kedua, penindasan pemerintahan negara terhadap rakyatnya sendiri untuk membiayai jalannya kekuasaan. Itulah yang disebut oleh Soekarno sebagai exploitation de l’homme par l’homme atau penghisapan manusia atas manusia.
Jalan keluar segala bentuk penindasan adalah dengan kembali pada falsafah/ dasar negara. Gotong royong merupakan cara yang paling ampuh dalam menghadapi kapitalisme neokolonialisme yang merupakan sebab utama dari penindasan. Secara lebih khusus, strategi ini sangat relevan melawan penindasan yang lebih dalam dari kapitalisme yang sedang krisis.
Hal yang paling utama adalah gotong royong menjadi jembatan untuk mewujudkan kelima sila pancasila dalam kehidupan berbangsa, beregara dan eksistensi dalam pergaulan internasional. Sebagaimana kata Bung Karno dalam pidatonya tentang Pancasila 1 Juni 1945“…dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi…itulah jalan untuk meraih keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan gotong royong memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Rendahnya pertumbuhan ekonomi yang dikarenakan masih kurang berkembangnya investasi terutama disebabkan oleh masih tidak stabilnya kondisi sosial politik dalam negeri.
- Dalam hal ekspor, sejak 2000, nilai ekspor non-migas Indonesia terus merosot dari 62,1 miliar dollar AS menjadi 56,3 miliar dollar As tahun 2001, dan tahun 2002 menjadi 42,56 miliar dollar AS.
6. Pemerintahan Indonesia Bersatu
Apabila dicermati, sebetulnya bukan masalah perlu tidaknya dilakukan reshufel dalam masa satu tahun KIB. Namun yang terpenting bagaimana masa pemerintahan presiden SBY dan para pembantunya dapat memanfaatkan momentum ekonomi Indonesia yang kuat di masa krisis kali ini .
Ditambah lagi dengan dimana kondisi ekonomi dunia dan tingkat kepercayaan investasi asing terhadap Indonesia yang mulai membaik harus dapat dimanfaatkan pemerintah untuk memperbaiki perekonomian negara dan meningkatkan kesejahteran rakyat. Parapengamat mengatakan Setelah 12 tahun pasca krisis ekonomi global, kita tidak pernah memiliki kesempatan sebaik ini.
Tidak pernah ada faktor positif ekonomi hadir bersamaan. Faktor posistif itu antara lain jumlah wisatawan mancanegara yang dalam delapan bulan terakir naik secara signifikan. Bahkan Ekspor pada bulan Agustus tercatat paling tinggi dalam sejarah bulanan. Ditambah lagi, Daya saing Indonesia-pun juga terus meningkat.
Selain itu tingkat kepercayaan asing untuk berinvestasi di Indonesia juga terus membaik. Hal ini terlihat dari penanaman modal asing yang tumbuh dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Kalau pemerintah dapat memanfaatkan kondisi ini, kita harus yakin dapat melakukan perbaikan ekonomi negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat dapat dicapai.
Ini yang harus benar - benar dimanfaatkan pemerintah dengan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid dua . Jadi bukan masalah reshufel atau tidak, yang terpenting adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Intinya bagaimana kepemimpinan Presiden SBY lebih mengarahkan pada peningkatan perekonomian negara dengan rasa sepenuh hati serta program membrantas korupsi yang harus diwujudkan. Presiden bersama KIB masih punya banyak waktu, bukan berarti sudah habis, jadi tidak ada kata terlambat untuk meningkatkan kinerjanya yang lebih baik.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar